Maka ia pun tersenyum seperti terhibur dan memuja Sang Pencipta
aˆ?Aku menjadi https://hookupdaddy.net/local-hookup/ pelayan Rasulullah SAW selama sepuluh tahun. Belu pernah beliau memukulku satu pukulan pun, tidak pernah membentakku atau bermuka masam kepadaku. Bila aku malas melakukan apa yang diperintahnya, beliau tidak memamkiki. Bila salah seorang diantara keluarganya mengecamku, beliau berkata, aˆ?Biarkanlah dia,aˆ? demikian pengakuan Anas bin Malik, khadan (pembantu) Rasulullah. Anas juga berserita bagaimana Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk memperlakukan pembantunya dengan baik. Mereka harus makan makanan yang sama dengan apa yang dimakan tuan mereka. Mereka tidak boleh dipermalukan atau dipanggil dengan panggilan yang tercela. Menurut Anas, Rasulullah SAW sering kali melayani con el fin de pelayan di Madinah. NAbi SAW juga tidak jarang mengantarkan budak-budak untuk memenuhi keperluan mereka, bahkan perempuan yang sudaj pikun. Beliau mengumpulkan sebagian sahabatnya yang miskin di sudut masjidnya, lalu membagikan makanan sedikit yang dipunyainya untuk mereka. Sehingga beliau tidak pernah makan kenyang selama tiga hari berturut-turut. Abu Hurairah juga menceritakan betapa Rasul sangat merasa kehilangan seorang perempuan hitam yang pekerjaannya aˆ?hanyaaˆ? menyapu masjid, yang oleh sebagian orang, bahkan juga sahabat, dianggap remeh. Suatu hari beliau tidak menemukan wanita itu, Rasulullah menanyakan ihwalnya, dan beliau sangat kecewa ketika ia meninggal dan beliau tidak dikabari.aˆ?Kenapa aku tidak diberitahu!aˆ? Lalu Rasulullah meminta ditunjukkan kuburnya. Di atas kuburan perempuan tersebut Rasulullah SAW melakukan shalat untuknya. Mari kita simak juga kisah Sa’d bin Muadz Al-Anshari. Waktu itu Rasulullah SAW pulang dari Tabuk. Beliau melihat tangan Sa’d yang menghitam dan melepuh. aˆ?Kenapa tanganmu?aˆ? Tanya Rasulullah. aˆ?Akibat palu dan sekop besi yang sering saya pergunakan untuk mencari nafkah untuk keluarga yang menjadi tanggunganku.aˆ? Maka Rasulullah SAW pun memegang tangan itu dan bersabda,aˆ?Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka.aˆ? Lihatlah, betapa Rasulullah SAW, yang tangannya diperebutkan untuk dicium, saat itu memegang tangan kasar. Begitulah beliau, performed pemimpin besar dunia dan akhirat, memperlakukan kaum dhuafa.
Pada suatu hari, para poder sahabat menemukan Rasulullah SAW sedang memperbaiki sandal anak yatim, dan pada hari yang lain sedang menjahit pakaian kumal milik perempuan tua yang miskin
Suatu malam, sebelumnya, Umar container Khaththab mengendap berjalan keluar dari rumah petak sederhana. Masih kemarin, ia sendirian menelusuri jalanan yang sudah seperti napasnya sendiri. Dengan udara padang pasir yang dingin tertiup, ia menulam langkah-langkah merambahi rumah-rumah yang penghuninya ditelan lelap. Ia tak ingin malam itu terlewati tanpa mengetahui bahwa mereka baik-baik saja. Sungguh tak akan pernah rela ia harus berselimut dalam rumahnya tanpa kepastian di luar sana tak ada derita. Madinah sudah tersusuri, malam sudah hamper di puncak. Angkasa bertabur kejora. Ia masih berjalan, meski lelah jelas terasa. Sesekali ia mendongak, melabuhkan pandangan ke langit Madinah yang terlihat jelita. Tak terasa Madinah sudah ditinggalkan, ia berjalan sudah sampai di luar kota. Namun langkahnya terhenti ketika dilihatnya seorang lelaki yang tengah duduk sendirian menghadap sebuah pelita. aˆ?Assalamu’alaikum, wahai Fulan,aˆ? ia menegur lelaki itu dengan santun.aˆ? Apakah yang engkau lakukan malam-malam start sendirian?aˆ? Lelaki itu tidak jadi menjawab ketika didengarnya dari dalam tenda suara perempuan yang memanggilnya dengan mengaduh. Dengan tersendat ia memberi tahu bahwa istrinya akan melahirkan. Ia bingun, karena tak ada sanak saudara yang dapat diminta pertolongannya. Setengah berlari Umar bin Khaththab yang pergi, menuju rumah sederhananya yang masih sangat jauh. Ia menyeret kakinya yang sudah lelah karena telah mengelilingi Madinah. Ia terus saja berlari, meski kakinya merasakan dengan jelas batu-batu yang dipijaknya sepanjang jalan. Tentu saja karena alas kakinya telah tipis dan dipenuhi lubang. Ia jadi teringat kembali sahabat-sahabatnya yang mengingatkan agar ia membeli sandal yang baru. aˆ?Ummi Kultsum, bangunlah, ada kebaikan yang bisa kau lakukan malamm ini.aˆ? ia mmbangunkan istrinya dengan napas tersengal. Sosok perempuan itu menurut tanpa sepatah kata. Dan kini sang khalifah tak lagi sendiri berlari. Berdua mereka membelah malam. Allah menjadi saksi keduanya dan memberikan rahmat hingga dengan selamat mereka sampai di tenda lelaki yang istrinya akan melahirkan itu. Ummi Kultsum segera masuk dan membantu persalinan. Allah Maha Besar, suara tangis bayi pun terdengar. Ibunya selamat. Lelaki itu bersujud mencium tanah dan kemudian menghampiri Ubil berkata,aˆ?Siapakah engkau, yang begitumullia menolong kamu?aˆ? Sang khalifah tidak perlu memberikan jawaban, karena suara Ummi Kultsum saat itu memenuhi lengangnya udara, aˆ?Wahai Amirul Mu’minin, ucapkan selamat kepada tuan rumah. Telah lahir seorang anak laki-laki yang gagah.aˆ? Betapa terpesona kita mengenang kisah indah Khalifah Umar bin Khaththab. Ia adalah seorang pemimpin Negara, tapi sejarah mengabadikan, kesehariannya sebagai orang sederhana tanpa berlimpah harta. Ia orang nomor satu, tapi siang dan malamnya jarang dilalui dengan pengawal. Ia seorang penyayang, meski kepada seekor burung. Ia anggap berlari tanpa henti demi menolong seorang perempuan tak dikenal yang akan melahirkan. Dan ia melakukannya sendiri. Ia melakukannya sendiri.